Wajibkah Ketua MK Anwar Usman Mundur Setelah Menikah Dengan Adik Presiden Jokowi?

Senin, 13 Juni 2022 - 18:21 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh Yusril Ihza Mahendra

Pendahuluan

DETIKINDONESIA.CO.ID, JAKARTA – Saya berulangkali ditanya wartawan maupun anggota masyarakat mengenai wajib tidaknya Anwar Usman, hakim dan Ketua MK mundur dari jabatannya setelah resmi menikah dengan Hajjah Idayati, adik kandung Joko Widodo alias Jokowi, yang kini menjabat Presiden Republik Indonesia pada 26 Mei yang lalu. Saya mulanya enggan menjawab pertanyaan tersebut dan membiarkan wacana itu berkembang, untuk kemudian, jika perlu, barulah memberikan tanggapan, ketika wacana itu sudah agak dingin, sehingga kita bisa berfikir dengan lebih jernih melihat persoalan yang terjadi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Setelah mengamati dengan seksama alasan pihak-pihak yang meminta Anwar Usman mundur itu, saya menyimak bahwa argumen yang digunakan adalah norma Pasal 17 ayat (4) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan “Ketua Majelis, hakim anggota, jaksa atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat”.

Ketentuan-ketentuan yang sama sebagaimana juga diatur dalam ayat sebelumnya, Pasal 17 ayat (3) yang pada intinya secara imperatif memerintahkan agar hakim mengundurkan diri dari persidangan, artinya dalam menangani suatu perkara, apabila antara hakim itu mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan pihak yang diadili dalam perkara itu. Jika tidak mundur dalam menangani perkara itu, maka “pihak yang diadili” mempunyai “hak ingkar” untuk mengajukan keberatan perkaranya ikut diadili oleh hakim tersebut [Pasal 17 ayat (1)].

Nah, dalam hal Ketua Pengadilan yang menangani suatu perkara, tetapi dia tidak duduk dalam majelis hakim yang menangani perkara itu, apakah dia wajib mundur sebagai Ketua Pengadilan? Dalam semua pengadilan pastilah akan ada beberapa majelis untuk menangani perkara. Karena itu, jika hal yang dimaksud oleh Pasal 17 ayat (3) dan (4) itu terjadi, maka Ketua Pengadilan yang kebetulan menjadi Ketua atau anggota majelis yang menangani perkara, memang wajib mundur dari majelis itu atas perintah undang-undang. Tetapi tidak ada perintah undang-undang yang menyatakan dia harus mundur dari jabatannya sebagai Ketua Pengadilan. Majelis hakim yang menangani suatu perkara sepenuhnya independen. Dalam mengadili dan memutus perkara, majelis tidak dapat diintervensi oleh siapapun, termasuk oleh Ketua Pengadilan.

Baca Juga :  Indonesia Memiliki Harta Karun SDA Bahan Nuklir Thorium Menggantikan Uranium diminati Dunia & Ancaman Keberadaan Senjata Nuklir di sekitar Indonesia

Majelis Hakim MK

MK memang beda dengan pengadilan manapun di negara kita ini karena majelisnya hanya 1 saja. Hakim MK hanya sembilan orang yang secara otomatis membentuk satu Majelis Hakim MK. Persidangan majelis dipimpin oleh Ketua MK, atau jika dia berhalangan, maka otomatis akan dipimpin oleh Wakil Ketua MK. Menurut Pasal 28 ayat (1) UU MK, sidang majelis hakim MK adalah sah (kuorum) jika dihadiri oleh sembilan atau sedikitnya tujuh orang hakim MK. Putusan diambil dengan musyawarah atau dengan suara terbanyak.

Pertanyaannya apakah norma Pasal 17 ayat (3) dan (4) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berlaku juga bagi MK? Jawabannya ya, norma itu juga berlaku bagi MK. Ketua atau hakim MK wajib mundur dari majelis yang menangani perkara apabila “pihak yang diadili” dalam perkara itu adalah keluarganya, termasuk keluarga semendanya sampai derajat ketiga. Norma yang sama dengan norma Pasal 17 ayat (3) dan (4) UU No 48 Tahun 2009 itu juga diatur bahkan diperluas dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 09/PMK/2006 Tentang Pemberlakuan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.

Dalam Ketentuan Kedua Kode Etik Hakim MK yang dimuat dalam Peraturan MK No. 09/PMK/2006 dinyatakan yang memuat lima poin norma etik yang intinya mewajibkan hakim MK untuk tidak berpihak dalam menangani perkara, maka hakim MK dalam menerapkan lima point norma etik itu “harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tidak berpihak” karena dua alasan yaitu: (1) Hakim konstitusi tersebut nyata-nyata mempunyai prasangka terhadap salah satu pihak; dan/atau (2) Hakim konstitusi tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan. Jadi rumusan norma Kode Etik MK jauh lebih luas dari sekedar hubungan keluarga atau semenda sampai derajat ketika sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (3) dan (4) UU No. 48 Tahun 2009.

Baca Juga :  Apa Tujuan Otsus Papua?

Meskipun demikian, rumusan norma Kode Etik Hakim MK itu memberikan batas-batas bahwa hakim tersebut tidak perlu mundur dalam menangani perkara apabila dia tetap dapat menunjukkan sikapnya yang tidak berpihak, meskipun ada “anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan”. Jadi kalau dalam UU Kekuasaan Kehakiman hakim wajib mundur karena pihak yang diadili adalah keluarga atau keluarga semenda sampai derajat ketiga ada kepentingan atau tidak, dalam Kode Etik Hakim MK diperluas menjadi ada “anggota keluarganya” tanpa batas sampai derajat ketiga, sepanjang saudaranya itu “berkepentingan terhadap putusan”.

Sangat sulit mengetahui apalagi mengukur sampai sejauh mana dalam perkara yang ditangani MK ada anggota keluarga hakim MK yang “berkepentingan terhadap putusan”. Sampai sejauh ini dalam perkara-perkara sengketa Pilkada dan bahkan sengketa Pilpres memang belum pernah terdengar adanya masalah sehubungan dengan penerapan norma Kode Etik MK yang amat luas bagai laut tak bertepi itu. Dalam hukum biasanya diterima sebuah prinsip: makin luas cakupan suatu pengaturan, makin dia tidak dapat mengatur apa-apa. Sepanjang sejarah MK juga belum pernah terjadi adanya hakim MK mundur dari majelis yang menangani perkara Pilkada misalnya, karena ada anggota keluarganya di kampung yang “berkepentingan” dengan putusan perkara Pilkada tsb.

Kekeluargaan Semenda Anwar Usman dengan Jokowi

Sekarang kita kembali kepada tuntutan kepada Ketua MK Anwar Usman untuk mengundurkan diri dari jabatan hakim dan sekaligus Ketua MK setelah resmi menikah dengan Hajjah Idayati, adik Presiden Jokowi, yang sejak ijab-qabul tanggal 26 Mei yang lalu otomatis menciptakan hubungan keluarga semenda antara keduanya. Namun terciptanya hubungan keluarga semenda itu tidak dapat dijadikan alasan untuk meminta, apalagi mendesak Anwar Usman untuk mundur dari jabatan sebagai hakim dan Ketua MK. Tidak ada dasar hukum maupun dasar etik apapun yang dapat digunakan untuk meminta atau mendesaknya.

Baca Juga :  NU dan Pasangan Capres-Cawapres 2024

Bagaimana halnya jika Anwar Usman ikut menangani suatu perkara di MK di mana “pihak yang diadili” sebagaimana disebutkan oleh Pasal 17 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 adalah keluarga atau keluarga semendanya sampai derajat ketiga? Secara umum dapat dikatakan demikian. Siapapun yang menjadi pihak yang diadili oleh MK yang menenuhi kriteria itu, maka Anwar Usman wajib mundur dari majelis yang mengadili perkaranya. Ini tidak khusus berlaku bagi Anwar Usman, tetapi berlaku pula pada hakim-hakim MK yang lain. Begitupun hakim-hakim MK yang lain jika berhadapan dengan kasus yang sama.

Namun persoalannya, dalam hal apa saja Anwar Usman wajib mundur dari majelis jika dikaitkan dengan yurisdiksi atau kewenangan MK dalam hubungan dengan Jokowi yang kini menjadi keluarga semendanya? Pertanyaan yang sama juga dapat diajukan: Apakah dalam semua perkara yang menjadi kewenangan MK, adakah “pihak yang diadili” sebagaimana dimaksud Pasal 17 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009?

Perkara-perkara yang menjadi yurisdiksi MK itu menurut Pasal 24C UUD 1945 adalah: (1) menguji UU terhadap UUD 45, (2) memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, (3) memutus pembubaran partai politik; (4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan (5) memutus apakah beralasan hukum atau tidak pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melanggar UUD 45 dalam proses pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Penulis : Yusril Ihza Mahendra
Editor : Muhamad Fiqram
Sumber :

Berita Terkait

Kaimana: The City of Tolerance
Fransiscus Go dalam Survey Calon Gubernur NTT
Jodoh Maluku Utara Adalah Taufik Madjid
Anak Indonesia, Harapan Peradaban Dunia “Menyambut Bonus Demografi 2045”
Jangan Permainkan Suara Rakyat Papua
Bahasa Ibu Sebagai Identitas Orang Asli Papua
OAP Wajib Selamatkan Bahasa Ibu Sebagai Identitas Warisan Budaya
Wujudkan Budaya Politik Bersih dan Beretika dalam Pesta Demokrasi

Berita Terkait

Kamis, 18 April 2024 - 17:27 WIB

Pimpinan DPRD DKI Dukung Restorasi Rumah Dinas Gubernur Jakarta

Rabu, 17 April 2024 - 21:18 WIB

Dukung Heru Tuntaskan Banjir, Milenial Jakarta: Gak Usah Dengar Suara Nyinyir

Kamis, 11 April 2024 - 00:17 WIB

Rayakan Idul Fitri 1445 H Bersama Keluarga, Surijaty Gelar Open House

Minggu, 31 Maret 2024 - 22:14 WIB

Hadiri Pelantikan LAB, Kombes Nicolas Sampaikan Maklumat Hukum Jelang Idul Fitri 1445 H

Minggu, 31 Maret 2024 - 21:59 WIB

Hadiri Acara Bamus Betawi, Ketum Salatin: Pelantikan LAB Merupakan Penguatan Budaya Asli Indonesia

Minggu, 31 Maret 2024 - 20:22 WIB

Kembali buat Gebrakan di Bulan Ramadhan, Eki Pitung Lantik Pengurus LAB dan Santuni 500 Anak Yatim

Kamis, 28 Maret 2024 - 23:01 WIB

Ditanya soal Gugatan di MK, Bunda Indah: Prabowo tidak Mencari Uang, Dia Hanya Menunggu Kematiannya

Sabtu, 16 Maret 2024 - 16:49 WIB

Pemilu 2024: PSI Meraup 465.936 suara, William Sarana Menjadi Caleg Suara Terbanyak

Berita Terbaru