Wacana Penundaan Pemilu : Pembangkangan Konstitusi, Menciderai Demokrasi

Jumat, 18 Maret 2022 - 09:29 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indonesia merupakan negara yang telah mengikrarkan diri sebagai negara hukum. Perwujudan negara hukum tersebut menyandarkan pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik, setiap tindakan haruslah bertujuan untuk menegakkan kepastian hukum, dilakukan secara setara, dan menjadi unsur yang mengesahkan demokrasi, serta memenuhi tuntutan akal budi. Dengan kata lain bahwa pemerintahan dijalankan berdasarkan konstitusi yang merupakan hukum dasar yang dijadikan landasan dalam penyelenggaraan suatu negara.
Undang-undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) adalah hukum dasar tertulis negeri ini yang wajib dijalankan secara konsisten, termasuk menyangkut penyelenggaraan pemilihan umum. Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Sangat tegas dan jelas disebut bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali, tidak kurang dan juga tidak lebih dari lima tahun. Sehingga adanya wacana untuk menunda pemilu adalah perbuatan yang bertentangan dengan konstitusi atau inskonstitusional.
Sejak Reformasi 1998 sampai saat ini, Indonesia telah dengan konsisten menyelenggarakan pemilu setiap lima tahun. Selama itu pula, para elite politik negeri ini sangat tertib berpikir dan tertib bertindak untuk selalu selaras dengan konstitusi.
Menyambut Pemilu 2024, ada beberapa elite politik (ketua umum partai politik) mulai tergoda bahkan sampai mewacanakan penundaan pemilu sampai 2027. Argumentasi penundaan itu di luar nalar waras. Ada yang menyebut bahwa penundaan pemilu merupakan masukan dari kalangan pengusaha, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Pemilu ditunda satu atau dua tahun agar momentum perbaikan ekonomi ini tidak hilang dan kemudian tidak terjadi pembekuan ekonomi untuk mengganti stagnasi selama dua tahun masa pandemi.
Ada pula elite politik yang mengusulkan perpanjangan masa jabatan presiden hingga 2027 atau bahkan 2028 sesuai aspirasi para petani sawit di salah satu kabupaten. Bahkan terdapat alasan yang menyita perhatian publik dan menimbulkan pro dan kontra.
Pandemi Covid-19 dan tingginya beban biaya pemilu dibandingkan pemilu sebelumnya mungkin menjadi alasan yang cukup rasional bagi sebagian masyarakat. Sekilas, kedua kondisi ini secara nyata sedang dialami Indonesia sebagai akibat pandemi Covid-19 yang terjadi sejak awal 2020.
Harus tegas dikatakan bahwa apapun alasannya, penundaan terhadap pelaksanaan Pemilu 2024 adalah bertentangan dengan konstitusi. Seharusnya para elite politik mampu meluruskan kembali pikiran yang tidak sejalan dengan konstitusi. Lebih berbahaya lagi jika penundaan pemilu itu sejatinya keinginan pribadi elite yang dikemas sebagai kemauan kelompok masyarakat. Survei Indikator Politik Indonesia pada akhir Desember 2021 menunjukkan mayoritas publik (67,2%) setuju pemilu tetap digelar pada 2024, 58% publik juga tak setuju jika masa jabatan Presiden Jokowi diperpanjang.
Presiden Jokowi sendiri dalam berbagai kesempatan, sudah berulang kali menolak wacana perpanjangan masa jabatannya. Wacana perpanjangan masa jabatan, menurut Jokowi, ingin menampar mukanya, ingin mencari muka, atau ingin menjerumuskannya. Maka patut diduga, usulan penundaan pemilu itu semata-mata untuk kepentingan elite politik itu sendiri. Bangsa ini sangat membutuhkan elite politik yang tetap tegak lurus menjalankan konstitusi. Elite yang satunya kata sejalan dengan perbuatannya.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), pemerintah, dan penyelenggara pemilu pada 24 Januari 2022 telah sepakat bahwa penyelenggaraan pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, serta anggota DPD RI dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 14 Februari 2024. Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun, pada 14 Februari 2022, sudah secara resmi meluncurkan hari pemungutan suara Pemilu 2024 pada 14 Februari 2024.
Jadi, sekali lagi, adanya wacana penundaan pemilu merupakan pembangkangan konstitusi yang melanggar Pasal 22E Ayat (1) UUD1 1945. Jika persoalannya itu pandemi dan beban biaya pemilu yang tinggi, dapat diatasi dengan penyederhanaan pemilu.
Memang berdasarkan data dari International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), terdapat beberapa negara yang menunda pemilu/pilkada dalam kurun waktu terakhir. Sebagai contoh Selandia Baru, Hongkong dan Bolivia merupakan negara yang menunda pelaksanaan pemilu di tengah tingginya peningkatan kasus Covid-19, ditambah belum ada penelitian yang memadai terkait dampak pandemi Covid-19 terhadap ketahanan kesehatan masyarakat pada waktu itu. Dengan demikian, langkah penundaan pemilu diambil sebagai upaya untuk melindungi nyawa manusia, yang merupakan bagian pokok dari hak asasi manusia.
Selain ada beberapa negara yang menunda pemilu, terdapat negara yang tetap melaksanakan pemilu dalam situasi pandemi.
Pelaksanaan pemilu secara berkesinambungan merupakan agenda utama setiap negara serta memasukkannya dalam konstitusi mereka.
Bahkan, dalam kondisi krisis ekonomi sekalipun, pemilu tetap dilaksanakan seperti di Venezuela, Korea Selatan dan Singapura merupakan contoh negara yang tetap melaksanakan pemilu di tengah tingginya peningkatan kasus Covid-19 saat itu, dengan tetap memberlakukan protokol kesehatan yang ketat. Alhasil, kesuksesan pemilu di Korea Selatan di tengah pandemi menjadi langkah mengatasi krisis di negara itu dan mendapatkan perhatian positif secara internasional. Pun ini serupa juga terjadi di Indonesia saat pelaksanakan pilkada di 270 daerah pada tahun 2020.
Perlu diketahui, bahwa pemilu di Indonesia telah mengalami perkembangan pesat dengan adanya pemilu serentak legislatif dan eksekutif pada tahun 2019. Capaian ini merupakan pendukung terhadap penguatan demokrasi yang meletakkan kesesuaian mekanisme pemilu dengan pilihan sistem pemerintahan serta mempertimbangkan aspek efisiensi dan pelaksanaan hak politik secara cerdas.
Dalam perpektif politik hukum, memang benar bahwa kehendak politik menjadi penentu bagi arah kebijakan hukum yang akan diambil pembentuk undang-undang.
Dalam sejarah pemilu pasca reformasi memang masih terkesan bentuk pemilu yang ideal. Hal ini ditandai dengan model pelaksanaan pemilu yang berubah dari pemilu ke pemilu berikutnya.
Setidaknya terdapat perubahan model yang menjadi perdebatan setiap penyusunan undang-undang pemilu, yaitu dari keserentakan pemilu dan pilihan proporsional tertutup atau proporsional terbuka. Semua kebijakan ini adalah merupakan open legal policy pembentuk undang-undang dan bersifat konstitusional.
Tanpa menutup mata terhadap fakta pandemi dan besarnya beban biaya pemilu, pada dasarnya terdapat beberapa upaya redesign pemilu yang konstitusional. Sebagian besar unsur pemilu seperti sistem, aktor, tahapan, manajemen, pembiayaan, etika, dan penegakan hukum, secara umum mengindikasikan masalah teknis.
Jadi secara teknis, untuk mengatasi persoalan pandemi dan beban biaya pemilu yang tinggi dapat dilakukan melalui penyederhanaan pemilu. Pertama, pemberian suara dapat dilakukan dengan dukungan teknologi yang berdampak pada penghematan biaya logistik pemilu. Kedua, pemilu tidak dalam satu hari sehingga dapat mengurangi resiko terpapar Covid-19. Ketiga, memunculkan alternatif pemberian suara dengan metode lain, seperti melaui pos dan internet yang melindungi kesehatan masyarakat dan dapat menekan beban biaya tinggi sekaligus.
Sehingga tidak ada alasan lagi dalam melakukan penundaan Pemilu 2024 yang secara bersama dianggap sebagai problem yang sangat serius karena dapat menciderai demokrasi dan pembangkangan konstitusi.

Baca Juga :  Tokoh Srikandi Dari Jawabarat Susi Pudjiastuti Figur Potensi Magnet Sentris & Magnet Electoral Meraih Kemenangan Gemilang Suksesi 2024 Menjadi Cawapres Untuk Calon Presiden Prabowo Ataupun Ganjar Pranowo????
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Penulis : Afan Ari Kartika 
Editor : Harris
Sumber :

Berita Terkait

Fransiscus Go dalam Survey Calon Gubernur NTT
Jodoh Maluku Utara Adalah Taufik Madjid
Anak Indonesia, Harapan Peradaban Dunia “Menyambut Bonus Demografi 2045”
Jangan Permainkan Suara Rakyat Papua
Bahasa Ibu Sebagai Identitas Orang Asli Papua
OAP Wajib Selamatkan Bahasa Ibu Sebagai Identitas Warisan Budaya
Wujudkan Budaya Politik Bersih dan Beretika dalam Pesta Demokrasi
Selamatkan Generasi Muda Papua Dari Ancaman Bahaya Alkohol Dan Narkoba

Berita Terkait

Minggu, 5 Mei 2024 - 11:52 WIB

Harita Nickel Catat Kenaikan Pendapatan 26% di Q1 2024 di Tengah Tantangan Ekonomi Global

Minggu, 5 Mei 2024 - 11:44 WIB

Ambil Formulir Pendaftaran, Eka Dahliani Usman Optimis Dapat Rekom dari PSI

Minggu, 5 Mei 2024 - 11:39 WIB

Sepi Wanimbo Minta Pemda Lanny Jaya Segera Membuka Akses Jalan Wamena Lanny Jaya

Minggu, 5 Mei 2024 - 11:37 WIB

LPI Malut Desak Kajari Halsel Usut Temuan Dana Desa di 174 Desa

Jumat, 3 Mei 2024 - 23:47 WIB

Bapperida Kota Tidore Kepulauan Gelar Technical Meeting Lomba Inovasi Daerah Tahun 2024

Jumat, 3 Mei 2024 - 23:38 WIB

Pemkot Tidore Kepulauan Gelar Upacara Hardiknas 2024 di Halaman Kantor Walikota

Jumat, 3 Mei 2024 - 23:32 WIB

Pemkot Tidore Kepulauan Dukung Kunjungan Peserta Forpimpas di Kota Tidore

Jumat, 3 Mei 2024 - 23:26 WIB

Selain PKB, Gerindra dan PAN, Hj Eka Dahliani Usman Juga Ikut Ambil Formulir Pendaftaran di Nasdem

Berita Terbaru