Gejala Otoritarianisme Dalam Menyembunyikan Kontroversi Rancangan Undang-Undang KUHP

Selasa, 12 Juli 2022 - 10:40 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh : Barbalina Matulessy, SH.,M.Hum
Sekretaris DPD Partai Solidaritas Indonesia Kabupaten Buru

Pembahasan draft RUU KUHP antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mencakup sejumlah pasal karet yang dinilai multitafsir. Apalagi draf terbaru pembahasan RUU KUHP selepas Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dan Komisi III DPR pada 25 Mei 2022 lalu tidak di ekspose dan tidak dapat diakses oleh masyarakat. Padahal masyarakat perlu tahu dan miliki hak untuk mengetahui hal tersebut, apa lagi pada Tahun 2019 telah menghasilkan Rancangan Undang-Undang KUHP yang terdapat banyak Pasal karet atau dengan kata lain bahwa ada sejumlah pasal di draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dinilai membahayakan dan merugikan kelompok tertentu. RUU KHUP bisa dengan mudah menjerat pidana bagi kelompok yang berseberangan dengan pemerintah dan pejabat negara.

Bahwa sikap pemerintah yang tidak mempublikasikan RUU KUHP itu telah melanggar ketentuan Undang-Undang tentang keterbukaan informasi publik, juga Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).

Kecenderungan pemerintah mengabaikan kritik publik lagi-lagi menunjukkan pola yang berulang mengenai proses legislasi yang “ugal-ugalan” dan tidak sehat. Sebelumnya, pemerintah telah mengesahkan sejumlah UU kontroversial di tengah kritik publik, seperti UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Omnibus Law UU Cipta Kerja, UU Ibu Kota Negara, serta revisi UU P3.

Sangat disayangkan hilangnya fungsi kontrol DPR dalam hal ini, sehingga kritik terhadap proses legislasi itu kini hanya datang dari masyarakat yang juga kerap diabaikan. Kalau mengharapkan DPR sebagai penyeimbang sangatlah tidak mungkin, hal ini dapat diukur dengan sudah ada 82% parpol yang memiliki anggota DPRD koalisi dengan pemerintah. Hal ini terbukti dengan pengabaian aspirasi masyarakat terus berulang.

Berdasarkan draf versi tahun 2019 koalisi masyarakat sipil menemukan setidaknya 24 isu krusial yang berpotensi diskriminatif dan overkriminalisasi, dan hal ini bertentangan dengan semangat demokrasi. Pada 25 Mei 2022 pemerintah dan DPR mulai membahas kembali RUU KUHP. Namun pemerintah dalam pemaparannya hanya memaparkan 14 isu krusial yang diklaim telah disesuaikan berdasarkan masukan masyarakat. Baik pemerintah dan DPR juga menyepakati bahwa tidak akan membuka kembali substansi RUU KUHP.

Baca Juga :  75 Tahun HMI Untuk Indonesia (Pilihan Politik Kanan, Politik Tengah dan Politik Kiri)

Bahwa setelah itu muncul matriks yang memaparkan penyesuaian 14 isu krusial tersebut, namun draft lengkapnya hingga saat belum sampai ke tangan publik.

Bahwa dari 14 isu kontroversi dalam RUU KUHP terdapat 3 isu yang bagi saya jika tidak dipertimbangkan kembali maka secara hukum akan terjadi diskriminasi dan kriminalisasi yang terjadi antara lain :

Pasal hukum yang hidup (The Living Law)
Ditemukan dalam Pasal 2 ayat (1) dan pasal 598 RUU KUHP diatur tentang hukum yang hidup di masyarakat. Menurut pasal itu, masyarakat bisa dipidana bila melanggar hukum yang berlaku di suatu daerah dalam hal ini hukum adat. Bahwa jika kita melihat Pasal 18B ayat (2) tertulis bahwa Indonesia mengakui dan menghormati hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang hak itu masih eksis dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip negara Indonesia.

Baca Juga :  Pengamat Ilham Putuhena: 3 Alasan Penting Dorong Pengesahan RKUHP

Bahwa jika Pasal RUU KUHP tersebut di atas mengatur tentang Living Law maka dengan sendirinya akan menghilangkan esensi dari pasal 18B ayat (2) yang adalah merupakan ranah dari masyarakat hukum adat. Dikatakan demikian karena terhadap hal ini, Negara akan ikut campur tangan dan secara langsung mengintervensi ranah penyelesaian hukum adat yang sejatinya itu merupakan domainnya atau peran dari tokoh adat dan/atau pemangakuh adat di masing – masing daerah yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Penulis : Barbalina Matulessy
Editor : Muhamad Fiqram
Sumber :

Berita Terkait

Membangun Ekonomi Nasional dari Pinggiran. Sinergi UMKM dan Industri Besar adalah Keniscayaan.
Dari Rumah, Perempuan Menenun Ekonomi Bangsa
Perjuangan Menjadi Pahlawan Nasional 4 Mahasiswa Trisakti dalam Tragedi 12 Mei 1998
Saatnya Bersatu Mengawal Kepemimpinan Baru Demi Kemajuan Indonesia.
Mengenal Budaya dan Perkembangan Tiongkok dari Dekat Bersama chinainmyeyes.com
Peran “Invisible Hand” dalam Ekonomi Politik Indonesia di Tengah Proteksionisme Global
Hilirisasi Sumber Daya Alam: Pilar Kedaulatan Energi
Menghidupkan Kembali Ideologi: Menjadikan Pancasila sebagai Pedoman, Bukan Sekadar Hafalan

Berita Terkait

Jumat, 2 Mei 2025 - 11:04 WIB

Menteri UMKM Maman Siap Hadir di Sidang Kasus Mama Khas Banjar sebagai Amicus Curiae

Kamis, 1 Mei 2025 - 10:36 WIB

Menteri Maman Tegaskan Peran Strategis Usaha Jasa Boga dalam Pengembangan UMKM

Kamis, 1 Mei 2025 - 10:09 WIB

Menteri Maman Ungkap Capaian dan Tantangan Penghapusan Piutang Macet UMKM

Rabu, 30 April 2025 - 15:04 WIB

Direktur Utama PLN Ungkap Peran Perempuan di PLN Dukung Pengurangan Utang dan Keberlanjutan Perusahaan

Rabu, 30 April 2025 - 14:54 WIB

Kadin Jelaskan Meningkatnya Investasi di Indonesia Karena Kehadiran Presiden Prabowo

Rabu, 30 April 2025 - 10:31 WIB

Menteri UMKM Apresiasi Terobosan Produk UKM dari APKASINDO

Rabu, 30 April 2025 - 09:07 WIB

Kementerian UMKM Soroti Peran Transformasi Digital dalam Memajukan UMKM

Selasa, 29 April 2025 - 15:36 WIB

Rektor UMJ: Kaderisasi Ulama Penting untuk Masa Depan Bangsa

Berita Terbaru